Posted in Journey

Why Am I Burdened This Way?

Seminggu kemarin, rasanya pengen mudiknya dipercepat sajaaa, heu.

Semua berawal dari sekitar 1 bulan lalu – saat hampir setiap hari Ayah tidur tengah malam, gak jarang menjelang dini hari – untuk mengejar deadline submission PhD thesis demi  ‘menanggalkan’ status mahasiswanya di tahun ini. Nothing good comes easy, indeed.

Puncaknya, weekend dua minggu yang lalu kami kedatangan dua orang traveller dari Bandung. Selalu senang kalau ada yang berkunjung karena rasanya seperti ditengokin, apalagi yang datang dari kampung halaman. Menikmati weekend dengan berkeliling Penang sejak pagi dan baru tiba di rumah saat matahari sudah gak lagi kelihatan, ternyata cukup menjadi pemicu runtuhnya daya tahan tubuh Ayah malam itu 😦

Demam tinggi, sampai 39,4 derajat 😦

After weeks of restless nights, Allah Maha Baik ngasih Ayah waktu untuk rehat sejenak, pikir saya. Untung masih hari Minggu jadi bisa nyalse ngerawat Ayah di rumah.

Saya masak seperti biasa, walaupun menu seadanya karena jadinya gak bisa ke pasar hari itu. Alhamdulillahnya, Ayah tetap bisa maksain makan walaupun gak banyak – cukup untuk ‘mengamankan’ perut sebelum minum paracetamol, obat ‘sementara’ sebelum malamnya diperiksa dokter di klinik.

Setelah sekian lama selalu duduk manis di kursi penumpang, malam itu saya kembali duduk di belakang setir. Ayah, lengkap dengan masker di wajah, duduk setengah berbaring di kursi belakang. Syukur kliniknya dekat dari rumah.

Sepulang dari klinik, antibiotik ternyata harus ‘menemani’ hari-hari Ayah ke depan. Infeksi di tenggorokan, kata dokter. Dibekali juga penurun panas, obat hisap, plus obat alergi. Okay, tinggal istirahat dan banyak makan, pikir saya. Gak pernah menyangka kalau itu adalah awal dari hari-hari ‘berat’ kami ke depan.

***

Senin pagi, saya bangun sebelum Shubuh karena berniat mau sahur, meng-qadha sisa hutang shaum. Sebetulnya bangun dengan badan yang kurang enak, tapi saya tepis, “Mungkin karena semalam maksain mandi malam-malam”, pikir saya dalam hati. Suhu Penang memang sedang panas-panasnya akhir-akhir ini.

Selesai sahur, sholat Shubuh, lalu bangunin Ayah. Baru saja mau ambil beras untuk dicuci sambil pegang rice cooker, tapi keingetan mau ukur suhu badan Ayah dulu.

37,5 derajat. Alhamdulillah sudah turun.

Lalu iseng ukur suhu badan sendiri.

38,5 derajat.

GAK SALAH NIH?

Lalu ukur ulang. Hasilnya masih sama 😦

Pantesan daritadi kok kliyengan, pening.

Rice cooker sudah di tangan, nanggung. Biarlah ini pening ‘ditunda’ sebentar, yang penting hari ini punya nasi dulu.

Pagi itu rasanya proses terlama saya masak nasi. Alhamdulillah selesai juga.

Setelah menyalakan rice cooker, Ayah ke dapur.

“Bu.. Demam Ayah udah turun. Bubu gimana kabarnya?”

Next thing I knew, saya menelan sebutir paracetamol dibantu beberapa teguk air bening, “Semoga masih ada waktu untuk qadha shaum, sekarang yang penting sehat dulu”.

***

Masih di hari yang sama, siang menjelang sore. Suhu badan saya masih belum normal dan pening di kepala masih terasa. Saya ke dapur, berusaha meredakan panas di badan dengan beberapa teguk air bening.

Tiba-tiba Alma terlihat melintas, langsung menuju ruang tengah, terduduk di karpet. Tumben, tidur siangnya baru 1 jam, padahal biasanya bisa sampai 3 jam, “Udah bangun, Nak?”, saya tanya, tapi Alma gak jawab.

Saya amati, matanya merah. Iseng saya pegang kepalanya.

PANAS.

Saya bergegas ke kamar, ambil termometer.

39,1 derajat.

Innalillahii… pantesan daritadi tidurnya gelisah terus. Rupanya ini sebabnya 😥

Langsung saya hampiri Ayah ke kamar. Sambil menahan tangis, saya bilang, “Alma PANAS JUGA, 39,1”.

“Kita ke klinik sekarang”, kata Ayah, “Coba tawarin minum dulu, Bu.”

Saya menyodorkan segelas air bening ke Alma. Baru diminum seteguk, gak disangka…. Alma muntah.

Iya, muntah di karpet. BANYAK. Banyak sekali 😥

Alma muntah sambil menangis. Muntah, menangis, dan berkeringat sekujur tubuh.

Saya berusaha tenang, sambil menahan diri untuk gak ikut panik, walau rasanya sudah gak bisa mikir 😥

Setelah saya pastikan muntahnya selesai, saya bawa Alma ke kamar mandi, masih dalam keadaan menangis, “Gak apa, Nak. Ini Bubu bersihin muntahnya. Kita ganti baju, terus minta obat yah sama Aki dokter”.

Bekas muntah di karpet saya bersihkan seadanya. Bergegaslah kami bertiga ke klinik, saya dan Ayahnya Alma lengkap pakai masker. Ayah yang masih dalam keadaan sakit, terpaksa harus menyetir.

Kami duduk di ruang tunggu, klinik lumayan penuh. Alma sudah terlihat sangat layu, saya cuma khawatir ini anak gak sadarkan diri 😥 Makanya saya ajak ngobrol terus.

“Mau minum, Nak?”

“Sini Bubu pangku, Nak.”

“Alma Bubu gendong yah?”

Semua pertanyaan saya dijawab dengan gelengan kepala yang lemah.

Sejak insisi abses, Alma memang takut kami bawa ke ruang periksa dokter, maunya duduk sendiri saja supaya dia tetap punya ‘kuasa penuh’ atas dirinya, biar gak bisa ‘dipaksa’ diajak masuk ke ruang periksa.

Akhirnya, saya gendong ‘paksa’ dengan posisi berbaring di pundak kiri saya, ternyata gak bisa nolak karena memang sudah terkulai lemas 😥

Setelah menunggu sekitar setengah jam, tiba juga giliran kami dipanggil masuk ke ruang periksa dokter. Pulang berbekal berbagai obat-obatan di tangan, tinggal gimana caranya bikin Alma mau minum obat. Pe-er lainnya.

***

Besoknya, saya masih memaksakan diri untuk masak. Siangnya, suhu badan saya sampai juga ke angka 39,5 derajat, “Udah Bu, biar Ayah beli makanan”. Bukan gak mau, tapi gimana cara beli makanan kalau Ayah juga masih sakit? 😥

Sore itu kami ke klinik lagi, dan Ayah harus memaksakan diri untuk menyetir (lagi). Saya terus menerus batuk sampai dada sakit, tenggorokan kering dan perih, dan pastinya badan panas. Akhirnya dokter kasih antibiotik juga, gak jauh beda dengan Ayah.

Selesai dengan segala urusan di klinik, masih lengkap dengan masker di wajah, kami memaksakan diri mampir ke supermarket. Hari Minggu kemarin kan gak sempat ke pasar, isi kulkas gak ada yang bisa diandalkan.

Pening. Pusing. Panas. Lemas. Tenggorokan sakit, gatal. Suara habis. Tapi-harus-belanja. Mengitari lorong-lorong supermarket sambil mendorong trolley, bergantian menggendong Alma yang terkulai lemas, dan tetap mengantri saat mau bayar 😥 Mau gimana lagi?

Beli telur, roti, persediaan cemilan, jus buah, dan lain-lain. Apapun yang bisa memudahkan hidup di rumah untuk beberapa hari ke depan.

***

Hari-hari itu kami jadi sangat akrab dengan termometer. Setiap jam sejak bangun tidur, gak pernah terlewat untuk menyelipkan benda kecil itu sambil menunggu angkanya muncul.

Di hari ke-empat Ayah sakit, baru terbangun dari tidur, gak disangka angka 38,5 muncul lagi, “Bu.. Ayah demam lagi. Berarti hari ini harus ke klinik lagi buat cek darah.”

Astaghfirullaah… Belum selesai rupanya episode ‘sakit berjamaah’ ini 😥 Sudah suami sakit, anak sakit, diri sendiri sakit, kami di perantauan, ada kemungkinan pula suami harus opname kalau hasil darahnya gak bagus. Macam mana saya di rumah cuma sama Alma, sama-sama dalam keadaan sakit? 😥 Belum lagi, kami kan kena virus yang sama. Kalau Ayah harus opname.. berarti….

Ah sudahlah… Biarlah skenario terburuk ada di kepala saja.

“Berangkat pagi biar klinik belum terlalu penuh”, cuma itu yang bisa keluar dari mulut saya menanggapi Ayah.

Kepala saya sudah terlalu penuh. Beberapa menit sebelumnya, baru saja muncul angka 39,8 – hasil mengukur suhu badan Alma 😦 Anak ini tidur sambil bernafas dari mulut, saking panasnya 😥

***

Gak bisa bohong, selama satu minggu kami sakit, hampir setiap hari saya menangis. Terutama kalau sudah gak bisa menahan sakit di kepala dan panas di badan, sementara masih harus menyiapkan makan dan nyuapin Alma. Belum lagi, tetap harus ngelonin Alma tidur, padahal badan sendiri rasanya sudah pengen langsung terlelap 😦

Masih harus cuci piring, cuci baju, dan membereskan rumah, seadanya. Harus ‘menghipnotis’ diri sendiri, “Saya cukup sehat”, karena suami dan anak juga sakit. Padahal kenyataannya, diri sendiri pun gak lebih sehat 😦

Baru dikasih ‘cobaan’ macam gini saja, rasanya sudah pengen pulaaaaaang lari ke Mama, heu.

Tapi… walaupun gak pernah menyangka, alhamdulillah hari-hari ‘berat’ terlewati juga.

Syukur hasil darah Ayah bagus, jadi kami semua gak perlu camping di rumah sakit. Syukur masih bisa berobat, masih punya rizqi untuk beli makanan, dan masih bisa menikmati sehat sambil menulis tulisan ini, alhamdulillaah.

***

Teringat beberapa hari sebelum sakit, saya curhat ke Ayah, bilang kalau sudah beberapa bulan terakhir ini, hati saya rasanya ‘hampa’… Mungkin karena saya kurang mendekat ke SangPemilikHati.

Sangat mungkin kalau saya sedang ‘disentil’.. Ramadhan kan tinggal hitungan hari. Alhamdulillaah, masih diingatkan.

Why was I tested?

Qur’an answers: “Do men think that they will be left alone saying, “We believe”, and that they will not be tested? We did test those before them, and Allah will certainly know those who are true from those who are false.” [29: 2-3]

Why am I burdened this way?

Qur’an answers: “Allah does not place a burden to a soul greater than it can bear. It gets every good that it earns, and it suffers every ill that it earns.” [2: 286]

“So verily, with every difficulty, there is relief. (Repeated) Verily, with every difficulty, there is relief.” [94: 5-6]

How can I face it?

Qur’an answers: “…seek (Allah’s) help with patient perseverance and prayer: It is indeed hard, except to those who bring a humbly submissive (to Allah).” [2: 45]

But I can’t take it anymore..

Qur’an answers: “… and never give up hope of Allah’s Soothing Mercy: Truly no one despairs of Allah’s Soothing Mercy, except those who have no faith.” [12: 87]

“… Despair not of the Mercy of Allah. for Allah forgives all sins: for He is Oft-Forgiving, Most Merciful.” [39: 53]

Saat badan sudah mulai enakan, tiba-tiba menemukan tulisan-tulisan di atas. Terangkum dengan sangat indah.. namun ‘menampar’ saya dengan kerasnya. Satu lagi ‘cobaan berat’ terlewati, alhamdulillaah.

“Be patient and trust in Allah. Problems and hardships are not a punishment. They are a test and a means of purifying you and wiping your sins.” (Anonymous)

SEMOGA.

burden2
Sumber: pharis-ahmed.tumblr.com

PS: Aslinyaaa… tulisan ini pengingat buat diri sendiri yang keseringan lupa.

8 thoughts on “Why Am I Burdened This Way?

  1. Terharu bacanya.. jadi pengingat diri juga..mudah2an inget Allah ga disaat tertimpa musibah aja tapi setiap hari selama masih diberi nafas..smoga sehat n slalu hepi ya ndin..Barakallah..*hugs*

    Like

  2. betuuul Ceu.. memang sering lupa kalau lagi hepi mah, pas giliran kena musibah pun, bersyukur kalau masih dikasih jalan buat inget :’) Aamiin.. nuhun Ceu.. do’a yang sama buat dirimu and the boys (termasuk Abi-nya) 🙂 *hugs*

    Like

    1. Setuju dengan quote-nya, Mak.. 🙂 ‘Sakit’ sejatinya memang ‘membersihkan’, menjadi penghapus dosa.. Saya memang sering ‘lupa’ dan suka kebanyakan ngeluh, heu. Makasih udah mampir dan ikut sharing, salam kenal 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s