Posted in Motherhood

Tentang nursing strike

Disclaimer: tulisan ini dibuat sekitar bulan September, tapi karena closing-nya tertunda, baru bisa di-published sekarang 😁

***

Nggak pernah menyangka akan googling soal istilah ini. Nggak pernah menyangka juga harus konsul ke konselor laktasi lagi, drama lagi, feeling soooo emotional and overwhelmed – all over again.

Kalau dulu, konsulnya ya ke RS ketemu langsung sama konselor yang juga dokter anak, galau nggak mau nyapih Fatima karena dapet rejeki hamil Raif. Merasa bersalah, tapi ASI udah kering, plus kadang kontraksi. Tapi tetep keukeuh nursing while pregnant walau akhirnya proses menyapih dilakukan secara ‘terpaksa’ setelah Raif lahir dan pulang ke rumah dari RS.

Kalau sekarang, konsulnya lewat video call whatsapp. Tapi drama nya tetep sama, emosi nya juga sama, guilty feeling-nya tentu ada, tapiii dengan tambahan rasa patah hati.

YES. Brokenhearted.

Mungkin itu istilah yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang saya rasakan beberapa minggu lalu.

It only feels like yesterday when the doctor put you on my chest, helpless little baby – but now you’ve grown up so incredibly fast that you’re able to decide what you want, and don’t want. Like, really, baby? THIS fast?

Maunya sih enggak percaya.

Tapi kata konselornya, “Jangan salah, Bu. Anak ASI itu pinter. Anak sekecil itu udah ngerti karena punya bonding yang kuat sama Ibunya”.

“Anak bayi pun bisa protes. Pundung kalau kata orang Sunda”.

Maunya enggak percaya. Tapi nyatanya terjadi di depan mata.

Dua bulan lebih menghabiskan waktu full di rumah karena pandemi. Dilanjut dengan hampir tiga bulan kembali ngantor dengan rutinitas ngASI sebelum berangkat, dan segera ngASI lagi sesaat setelah sampai di rumah dan mandi. Satu tahun lebih menjalin bonding, bahkan sejak umurnya baru hitungan menit. Semua kandas hanya karena tiga hari.

Tiga hari berangkat awal dan pulang telat untuk training, tiga hari tanpa ngASI di pagi dan sore hari. Tiga hari yang ternyata cukup membuat anak bayik umur 1 tahun memutuskan untuk nggak mau ngASI lagi.

Frustrasi.

Satu kata yang paling bisa mewakili what I was feeling back then.

Frustrasi karena tetiba anak umur 1 tahun yang baru bisa berjalan itu nggak mau lagi menyusu langsung ke saya. Frustrasi karena tengah malam anaknya masih terbangun tapi tetap nggak mau ngASI, malah nangis histeris sambil guling-guling di kasur sampai 1 jam lebih. Frustrasi karena merasa gagal menyusui penuh selama 2 tahun, untuk kedua kalinya.

Ngebiarin anaknya haus, terus tawarin, udah. Skin to skin setiap sebelum tidur, udah. Minta maaf ke anaknya, udah juga.

Kata konselornya, ini tentang Ibu, bukan tentang anak Ibu. Anak Ibu masih mau minum ASIP, umurnya pun sudah 1 tahun (sudah boleh table food dan cemilan), jangan dipaksa harus menyusu langsung. Boleh Ibu coba, tapi jangan memaksa, karena memaksa hanya akan bikin anak Ibu semakin ‘trauma’ dan menolak. Ibu harus belajar ikhlas, melepaskan ego. And that was the moment I suddenly cried.

Sambil sesenggukan, saya bilang, tujuan konsul adalah just to make sure I have done enough, karena selama hampir 3 minggu terakhir ini, yang berawal dari kaget, clueless, helpless, sedih, merasa bersalah, patah hati, lelah lahir batin, saya sudah sampai di titik hampir ikhlas. Makanya saya bikin tulisan ini supaya bener-bener bisa ikhlas, letting go, jadi pengingat saya.

“Ibu sudah melakukan yang terbaik. Toh status gizi anak Ibu baik. Ibu tetap saja pumping sesuai yang biasa Ibu lakukan, misal dapetnya 50 mL ya syukur, 30 mL juga nggak apa. Diminumin aja ke anaknya. Kalau kurang ya tinggal tambah UHT. Misal akhirnya ASI kering, ya sudah ikhlas saja”.

Mendengar konselor bicara kayak gitu dengan ringan nya, bikin mbrebes mili lagi.

Tapi, pelan-pelan saya coba pahami, mengalihkan fokus dari perasaan nggak enak, ke pemikiran yang lebih realistis.

“Yang perlu Ibu ingat, menjalin bonding sama anak enggak semata hanya dari proses menyusui saja.”

Again, reminder yang sama yang dulu pernah saya dengar.

****

Desember ini, sudah hampir 3 bulan Raif berhenti minum ASI. Karena setiap kali pumping, hanya dapat 1/10 dari yang biasa dia minum. Enggak kekejar, hehe.

Sudah sejak 2 minggu lalu, the breast milk’s no longer existed. ASI saya kering. Saya sudah ikhlas.

Sekarang do’anya sih, semoga anaknya tetap sehat, dan semoga bisa tetap meluangkan waktu yang berkualitas supaya tetap punya bonding yang kuat sama the little guy.

Buat yang pernah atau sedang mengalami hal yang serupa, tetap semangattt❤

Dear Mum(s), you have done enough. Your child(ren) loves you, no matter what. They know you love them, no matter what.

Posted in health, Journey, Motherhood, Parenting

Sekelumit tentang Nursing while Pregnant

Alhamdulillaah..

Sejatinya kita nggak pernah tau apa yang sudah Allah siapkan untuk kita. Just like finding out my 3rd pregnancy while Fatima was still 1-year-old. Manusia memang hanya bisa berencana, Allah lah yang menentukan. Apa-apa yang dalam logika manusia tidak mungkin, apalah yang nggak mungkin bagi Allah. Bahkan hal yang nggak pernah kita ucapkan, atau hanya terbersit dalam hatipun, Allah jelas MahaTau and in no time bisa membuat kita terkaget-kaget dengan keputusan-Nya.

Continue reading “Sekelumit tentang Nursing while Pregnant”

Posted in Journey, Motherhood, Parenting

Tentang Membangun Kepercayaan Diri Anak

Malam itu..

Saya dan suami sholat Isya berjamaah. Alma malah mondar mandir keluar masuk kamar lalu duduk di atas kasur, duduk layaknya lagi menahan untuk buang air kecil – bergoncang goncang. Turun dari kasur, keluar kamar, masuk kamar lagi, lalu duduk lagi di atas kasur, begitu seterusnya – bolak balik.

Continue reading “Tentang Membangun Kepercayaan Diri Anak”

Posted in In English, Journey, Motherhood

Tentang Kebahagiaan

image

About 30 to 50 percent of happiness is genetically determined;
about 10 to 20 percent reflects life circumstances (such as age, gender, health, marital status, income, occupation);
and the rest is very much influenced by the way we think and act.
(Gretchen Rubin in her book “Happier at Home”).

Anybody agrees with Gretchen Rubin’s research-based-thought? 😉

Bahagia itu relatif. Bentuk relativitas yang sangat tergantung pada standar tertentu yang dibuat setiap orang. Bisa sama dan mungkin banget berbeda.

Continue reading “Tentang Kebahagiaan”

Posted in Motherhood, Parenting

Cara Sederhana Tumbuhkan Kemandirian Anak

Wiiih, gaya bener judulnya ya? Hihi.. Tapi isi tulisan ini sama sekali nggak berat kok. Cenderung ‘sepele’ malah 😅

Inspirasi untuk tulisan ini saya dapat sekitar 1,5 tahun lalu, dari terapis okupasinya Alma di RSIA Hermina Pasteur, waktu Alma masih menjalani terapi okupasi sebagai bagian dari terapi wicara (lihat cerita lengkapnya disini).

Setiap mau masuk ruangan terapi, Alma (waktu itu 2 tahun 4 bulan), harus buka sepatu sandal/sepatunya. Waktu itu, saya selalu bantu karena sebelumnya memang nggak pernah saya ajarin. Maklum, dulu saya mikirnya, “Biar cepet dan praktis 😁 Kalau mau pergi, nunggu anak pakai/lepas sandal/sepatu sendiri, ribet. Makan waktu”. 😅

Continue reading “Cara Sederhana Tumbuhkan Kemandirian Anak”

Posted in Cooking, Motherhood, Parenting

Tips Memilih Jajanan ‘Sehat’ untuk Anak

Sekitar 1 bulan lalu, ada beberapa gambar produk makanan yang ramai dapat respon mengagetkan di media sosial. Makanannya sih biasa.. bahkan terlihat cukup ‘akrab’ dikonsumsi anak-anak.

Terus, apa yang bikin kaget?

Ternyata di labelnya tercantum tulisan:

Disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah lima tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Jreeeeng!

Continue reading “Tips Memilih Jajanan ‘Sehat’ untuk Anak”

Posted in In English, Journey, Motherhood, Parenting

To My Dearest Alma on Your 3rd Birthday

Alma sayang,

Three years ago, we’re welcoming you with hearts full of blessing. You’re born in an induced labor after we’d waited anxiously for days at home since the latent phase of dilatation. Hence, I thank Allah who has sent us a beautiful healthy baby girl. Almost everyone, including the nurses at the hospital, said that you’re a calm, peaceful, and untroubled baby – that was also one of the reasons we named you Sakina :).Alma bayi Continue reading “To My Dearest Alma on Your 3rd Birthday”

Posted in Motherhood, Parenting

Tips dan Trik Toilet Training

Kalau jaman saya kecil dulu, mungkin orangtua gak perlu pusing ya mikirin soal ini, karena memang dari bayi gak pernah kenal diapers atau popok sekali pakai (pospak). Tapii..seiring perkembangan jaman, pospak tampaknya sudah menjadi bagian dari kehidupan anak, terutama batita.

Nah, terlepas dari beberapa alasan bahwa anak yang mulai menggunakan toilet artinya mulai lebih mandiri lagi, lebih sehat juga karena penggunaan celana dalam menyediakan ruang bernafas yang lebih untuk kulit anak (dan lebih higienis pastinya!), pengurangan sampah pospak yang entah berapa ribu hanya dari satu anak saja… Tapi yang jelas, yang saya rasakan sekali adalah penghematan budget untuk belanja popok tiap bulan, hihi… 😀 Continue reading “Tips dan Trik Toilet Training”

Posted in Motherhood, Parenting

Tips Menstimulasi Anak Batita untuk Berbicara dan Berkomunikasi

Dari beberapa referensi yang saya baca, speech development atau perkembangan kemampuan berbicara pada anak dipengaruhi oleh nature  (genetika) dan nurture (pola asuh).

Pada porsi tertentu, genetika menentukan intelegensia anak juga perkembangan kemampuan berbicara dan berbahasa, tetapi dalam hal ini lingkungan atau pola asuh memegang porsi/peranan yang lebih besar.

Apakah seorang anak menerima cukup stimulasi di rumah, di daycare/playgroup, atau secara umum di lingkungannya?

Apakah terdapat kesempatan yang cukup bagi anak untuk berkomunikasi dan berpartisipasi?

Umpan balik atau feedback seperti apakah yang diperoleh anak?

Continue reading “Tips Menstimulasi Anak Batita untuk Berbicara dan Berkomunikasi”

Posted in Motherhood, Parenting

Bagaimana Cara Mendeteksi Tumbuh Kembang Anak Balita?

Menjelang akhir tahun lalu, saya dan Alma pulang ke Bandung selama 5 bulan untuk terapi okupasi dan terapi wicara selama 4 bulan di Klinik tumbuh kembang Hermina Pasteur. Ini dalam rangka menindaklanjuti speech delay yg dialami Alma karena lingkungan yang kurang kondusif, seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya. Ayahnya dan saya terutama, kurang memberi stimulasi selama di rumah dan karena kami merantau, sosialisasi dengan yang berbahasa sama pun kurang (tetangga dan teman sebaya).

Tamparan besar buat saya waktu itu, tapi alhamdulillah saya jadi belajar banyak dari pengalaman tersebut. Pengalaman dan pelajaran yang rasanya terlalu berharga untuk disimpan sendiri, jadi saya rangkum dan tulis disini:

https://andinaseptiarani.wordpress.com/2014/04/30/tips-melatih-anak-berbicara-dan-berkomunikasi/

Nah, setiap antar Alma terapi, saya selalu tertarik dengan poster yang terpampang di ruang tunggu klinik nya. Entah saya yang memang baru tau, atau memang poster ini belum cukup umum untuk diketahui banyak orang. Judul posternya Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita, keluaran Yayasan Suyakanti, sebuah yayasan khusus pengembangan potensi anak. Poster ini sangat eye-catching, mudah dicerna tapi sangat bermanfaat. Dari poster ini, dalam sekilas baca orang tua bisa tau gambaran ‘kasar’ perkembangan anak balita nya berdasarkan umur. Indikatornya ada lima: gerak kasar (motorik kasar), gerak halus (motorik halus), pengamatan, kemampuan bicara, dan sosialisasi. Sangat membantu untuk deteksi awal menurut saya. Saat itu saya foto posternya, untuk dokumentasi.

Continue reading “Bagaimana Cara Mendeteksi Tumbuh Kembang Anak Balita?”

Posted in Motherhood, Parenting

There’s no such thing as a perfect mother

‘Mati-matian’ mengurus anak, eh ada juga ‘missed‘nya. Cuma fokus dengan segala yang terukur, mungkin karena saya memang dominan otak kiri, eh yang ga terukur ‘kelewat’.

Sebetulnya saya sudah lama ingin nulis soal ini – seperti pernah saya sebut di tulisan saya beberapa bulan lalu – selain karena belum sempat, juga karena ga tau harus mulai dari mana karena ini semua aib saya sendiri. Tapi sejak beberapa hari yang lalu, sebuah obrolan hangat dengan seorang sahabat lama mengingatkan saya lagi akan hal ini.

Di umurnya yang ke-dua tahun, Alma kena speech and language delay, bahasa gampangnya telat ngomong dibanding anak lain seumurnya: belum punya cukup perbendaharaan kata, belum bisa mengungkapkan keinginannya lewat kata-kata, walaupun mostly sudah mengerti kalau kita ajak bicara.

Continue reading “There’s no such thing as a perfect mother”

Posted in Journey, Motherhood, Parenting

What doesn’t kill you makes you..

..stronger. Itu kata lagu. Tapi, ga jarang, apa yang kita alamin bikin kita jadi lebih ‘kaya’, banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat.

Seringkali, pas lagi kena cobaan, rasanya beraaaat banget. Dibanding keadaan orang lain, rasanya cobaan kita yang paling berat. Padahal di Al Qur’an jelas yah..

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…..” (QS. Al-Baqarah 286).

Tapi, kayanya saya kebanyakan lupa daripada ingetnya 😦 ‘Sadar’nya seringkali yaaa.. pas cobaannya udah lewat. Alhamdulillah, it was not that bad. Afterall.. masih ada yang bisa disyukuri.

Continue reading “What doesn’t kill you makes you..”

Posted in Motherhood, Parenting

a 2-years-and-4-months-process for good (part 2)

Rutinitas ngASI di malam hari sebelum tidur sudah bisa tergantikan dengan aktivitas membaca buku. Selain jadi pengalihan, rutinitas baru ini juga keliatannya bakal jadi salah satu aktivitas yang Alma suka, she always looks very enthusiastic every time I held and started to open the pages of the book.

But unfortunately… tidak untuk tidur siang. Seperti yang sudah saya ceritakan di tulisan part 1, sejak umur Alma 1,5 tahun, rutinitas ngASI cuma untuk sebelum tidur: tidur siang dan tidur malam. Tidur malam bisa diusahakan ada Ayah yang bisa jadi ‘joki’, sementara tidur siang tidak karena kami cuma bertiga di perantauan.

All in all, pe-er saya masih berlanjut.

Continue reading “a 2-years-and-4-months-process for good (part 2)”

Posted in Motherhood, Parenting

a 2-years-and-4-months-process for good (part 1)

Proses itu dimulai hitungan bulan sebelum Alma tepat menginjak usia 2 tahun. Dimulai dari bubunya belajar, apa itu menyapih, kapan waktu yang paling tepat,  dan bagaimana cara yang paling tepat.

Hasil baca di forum-forum ibu-anak, kecenderungan proses menyapih sekarang ini sudah jauh berbeda dengan jaman ibu kita dulu, menyapih dengan cinta, adaptasi dari Weaning With Love atau biasa disebut WWL.

WWL ini intinya adalah bagaimana supaya proses penyapihan berlangsung ‘nyaman’, anak juga ‘sepakat’ untuk berhenti menyusu, bukan cuma ibu (dan ayah) nya saja.

Menyapih itu kan proses melepaskan batita dari kebiasaannya sejak bayi – yang juga sudah menjadi naluri – untuk menyusu pada ibunya. Kalau jaman ibu kita dulu, katanya sih ya kasih/oles aja PD pakai yang pahit-pahit, biar si anak “kapok” ga mau lagi menyusu. Tapi kalau dipikir lagi, apa iya cara yang paling tepat adalah dengan ‘bohong’ ke si anak? Apa iya melepas sesuatu yang sudah menjadi nalurinya sejak lahir akan jadi sesederhana itu?

Continue reading “a 2-years-and-4-months-process for good (part 1)”