..stronger. Itu kata lagu. Tapi, ga jarang, apa yang kita alamin bikin kita jadi lebih ‘kaya’, banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat.
Seringkali, pas lagi kena cobaan, rasanya beraaaat banget. Dibanding keadaan orang lain, rasanya cobaan kita yang paling berat. Padahal di Al Qur’an jelas yah..
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…..” (QS. Al-Baqarah 286).
Tapi, kayanya saya kebanyakan lupa daripada ingetnya 😦 ‘Sadar’nya seringkali yaaa.. pas cobaannya udah lewat. Alhamdulillah, it was not that bad. Afterall.. masih ada yang bisa disyukuri.
Ini juga yang terjadi setelah saya posting tulisan sebelumnya. Waktu Alma kena infeksi yang berkembang jadi abses* dan harus di-insisi (sejenis bedah kecil). Rasanya…… ga bisa dijelaskan dengan kata-kata, cuma pengen nangis aja. *(buat yang mau tau lebih jauh soal abses, bisa klik disini). Tapi toh, seiring berjalannya waktu, alhamdulillah banyak hikmah yang bisa diambil.
Jangan pernah ‘sembarangan’ meluapkan emosi saat sedang dilanda emosi – pelajaran pertama. Ini sih kayanya semua orang juga tau, cuma emang susah mengaplikasikannya dalam real case.. (atau mungkin ini masalah personal saya? Hehe) jadilah meluap-luap ga terkontrol (seperti di post saya sebelumnya).
Panik bercampur segala jenis emosi yang ada, sedih, bingung, clueless dan kawan-kawan. Tapi alhamdulillah, ada Ayah yang bisa jadi penyeimbang, menetralkan emosi. Mengingatkan saya untuk ga terus mengeluh dan untuk tetap ingat kalau it could have been worse. Instead, memang harus meluangkan lebih banyak waktu untuk ‘curhat’ setiap habis sholat. Adanya cobaan ini mungkin karena saya memang lagi ‘diingatkan’ oleh YangPunyaHidupdanKehidupan, biar ga keseringan lupa.
Ada dua hal yang jadi pe-er besar buat saya dan ayahnya Alma waktu itu. Dokter bilang seharusnya Alma dirawat pasca insisi. Kami boleh bawa Alma pulang dengan beberapa syarat: Perban harus diganti setiap hari dan antibiotik (AB) harus rutin diminum, “Kita lihat perkembangan pemulihannya minggu depan. Kalau bagus, stop antibiotik. Kalau ternyata proses pemulihan belum bagus (yang sangat bisa disebabkan tidak teraturnya minum AB dan kurang terjaganya kebersihan perban), ga ada pilihan selain rawat inap, jadi luka bekas insisi bisa terjaga kebersihannya dan AB bisa lewat infus”.
I don’t have much choice back then. Itulah sebabnya dokter memastikan ke saya apakah Alma bisa minum obat atau engga. Saya sebenarnya ragu karena selama ini alhamdulillah Alma jarang sakit dan pastinya jarang juga minum obat. Tapi apa daya, daripada harus rawat inap saat itu saya bilang “Iya bisa”. Itu saat saya belum tau kalau ternyata harus kasih Alma obat 4x sehari @12mL selama 1 minggu. Beneran pe-er besar.
Tapi lagi-lagi ada pelajaran yang bisa diambil. Harus bisa tetap sabar dan berpikir jernih saat kasih pendekatan ke anak, put ourselves in their shoes. Ayah yang saat itu masih bisa tenang dengan keadaan Alma yang terus-terusan menangis setibanya kami di rumah pasca insisi, tiba-tiba punya ide ‘brilian’ untuk ikut-ikutan pakai perban di leher supaya Alma mau ganti perbannya.. “Nih Ayah juga sama pakai perban. Gapapa ko”… gitu kata Ayah, diikuti Alma yang akhirnya mau perbannya diganti walau masih sambil sesenggukan.

Selesai masalah ganti perban, tiba waktunya minum obat. Saat itu, Ayah juga yang bisa ngasih pendekatan dan pengertian ke Alma, kalau obat memang ga enak, memang pahit, tapi harus diminum kalau mau cepat sembuh.. “Pahit sebentar, nanti langsung minum air putih yang banyak, hilang deh pahitnya” itu kata Ayah. Tanpa disangka, the little girl voluntarily minum obatnya sendiri.. padahal sebelumnya si Bubu mencoba membujuk, ga berhasil, dan diakhiri dengan adegan mencekok (jangan ditiru yaah). Jadi sebenarnya, yang lebih cocok jadi ibu kayanya si ayah deh, hehe. **Love you, dear 🙂
Hari-hari berikutnya memang ga selalu berjalan lancar, tapi alhamdulillah selalu ada jalan untuk membujuk Alma ganti perban dan minum obat. Saya tanya kenapa Alma ga mau ganti perban, dia jawab takut. Pastinya masih ingat dengan ‘kejadian’ di ruang bedah saat insisi. Tapi setelah itu saya bilang, ini perbannya kotor, harus diganti dengan yang bersih, kalau bersih nanti cepat sembuh.. “Bubu cuma ganti aja, Nak. Ga sakit, ga perlu takut. Mau ganti sama tante dokter atau sama Bubu?” Alhamdulillah berhasil.. karena ternyata tante dokter masih lebih ‘nyeremin’ buat Alma daripada Bubunya sendiri, hihi… (See the trace of the trauma here?)
Hari lain, mogok minum obat, dicoba dicampur dengan minuman lain, eeeh ketauan dan malah makin susah habisnya. Ga disangka lagi, akhirnya malah mau ‘ sukarela’ minum obat dengan selalu pegang segelas air putih untuk diminum segera setelah minum obat, dan sedikit iming-iming makanan kesukaan, hehe (anak-anak tetap anak-anak yah).
Pelajaran terbesar yang saya ambil dari kejadian ini, ternyata anak batita (apalagi balita mungkin ya) pun bisa mengerti kalau kita melakukan pendekatan yang sesuai, kasih pengertian dan ga perlu ‘bohong’. #selfreminder.
***
Seminggu setelah insisi, balik lagi ke rumah sakit untuk kontrol, ga disangka perban boleh dibuka dan stop minum antibiotik. Alhamdulillaah.. infeksinya sudah hilang, cukup 1 minggu struggling dengan si cairan 4x sehari @12 mL itu. Setelah perban dibuka, sempat ragu karena bekas luka terlihat nyata dan masih terasa ada benjolan kecil di dalam. Tapi, setelah konsul ke papah mertua, which happens to be a pediatrician, memang butuh waktu lebih lama sampai benar-benar pulih.
***
Sudah hampir 2 bulan sejak kejadian itu, alhamdulillah benjolan hilang sama sekali, walau bekas lukanya mungkin ga bisa hilang. Tapi, bersamaan dengan itu, saya dan ayahnya Alma belajar banyak.
While we try to teach our children all about life, our children teach us what life is all about – Angela Schwindt.
Semoga bisa jadi pengingat, terutama sekali buat diri sendiri 🙂