Posted in Motherhood, Parenting

Tentang Punya Adik Baru

Alhamdulillaah…

Alma sekarang sudah punya adik, Fatima namanya 🙂

Perbedaan usia yang cukup jauh – sekitar 6,5 tahun – membuat saya pada awalnya berpikir, akan memudahkan peran saya sebagai Ibu, dan peran suami sebagai Ayah, in terms of ‘pembagian’ kasih sayang di antara kaka Alma dan adiknya.

Gimana enggak?! Selama 6,5 tahun kasih sayang kami tercurah sepenuhnya untuk Alma. Bukan cuma dari kami orgtuanya, berhubung Alma cucu pertama dari keluarga saya dan suami, kakek neneknya pun melimpahkan perhatian yang tak kurang.

We’ve been taking care of her since day 1; kalau boleh dibilang sih, there’s nothing we wouldn’t do for her. Semua buat Alma. She’s our everything.

Lalu setelah adiknya lahir, saya berpikir, it’s about time we altered the center of attention; from Alma to her little baby sister, Fatima. Sudah cukup lah ya, selama 6,5 tahun menjadikan kaka Alma our top of the list, our number 1 priority. Alhamdulillah, kewajiban ASI sudah saya penuhi; perjuangan mengenalkan berbagai jenis makanan lewat MPASI juga alhamdulillah sudah selesai; toilet training pun sudah lulus sejak lama. Intinya sih, I thought she’ll be demanding less attention and we’re expecting a more independent older sister. Lebih bagus lagi, kalau kaka bisa jadi a helping hand.

That was my thought.

Apalagi, selama Fatima masih di dalam perut, not once dia tanya kapan adiknya keluar dari perut Bubu, sudah nggak sabar katanya :’).

She was so excited.

But then, when the time comes, turned out I was wrong.

Dibangunin pagi susah. Disuruh sikat gigi malah main air. Disuruh mandi malah mainan sabun. Setelah mandi, disuruh pakai baju susah, banyak main-main. Disuruh sholat banyak bercandanya. Dari omongan bernada rendah, sampai akhirnya saya harus bicara dalam nada tinggi alias teriak. Itupun seringkali, pada akhirnya dia semakin nggak peduli, semakin nggak mendengar. And it happened every-single-day, di tengah hectic-nya pagi siap-siap berangkat ke kantor dan sekolah.

I couldn’t stand it. Rasanya buntu, sudah kehabisan cara.

Akhirnya, saya ngobrol sama wali kelasnya di sekolah. Ternyata gurunya bilang, sudah beberapa minggu terakhir Alma berubah, timing-nya sepertinya bertepatan dengan kelahiran adiknya. Alma nggak lagi ceria seperti biasanya, nggak lagi aktif di sekolah. Lebih banyak diam dan beberapa kali terlihat melamun. Sampai pada akhirnya, keluar kata-kata dari mulutnya,

“Sekarang Bubu aku di rumah marah-marah terus… “

Gurunya mengonfirmasi ke saya, apakah betul yang Alma bilang.

I admitted it.

😥

Setelah itu, saya disuruh mikir, hal apa yang signifikan perubahannya setelah ada anak bayi di rumah, in terms of sikap saya ke Alma.

Sejak adiknya lahir, saya memang nggak lagi punya waktu yang dihabiskan berdua saja sama kaka Alma. Secara nggak sadar, saya tidak meng-alokasikan waktu untuk melakukan hal-hal yang dulu sering saya lakukan bareng Alma. Bukan nggak mau, tapi karena saya merasa adiknya yang masih bayi sangatlah helpless sementara dia seharusnya bisa menjadi lebih mandiri. It feels like I didn’t have enough time untuk ‘berlama-lama’, mandiin misalnya – yang sebetulnya kaka Alma sudah bisa melakukannya sendiri – sementara adiknya nangis minta ASI. Jadilah yang keluar dari mulut saya itu seputar perintah dan omongan bernada tinggi.

:((

Gurunya bilang, anak ini cuma cari perhatian.

Kaka Alma memang sudah besar, tapi dia tetap anak umur 7 tahun yang masih perlu bermanja-manja, masih perlu ditemani baca buku sebelum tidur, masih perlu ditemani main, masih perlu diajak ngobrol soal hari-nya di sekolah. Juga, masih suka dimandiin, dipakein baju dan disuapin Bubu-nya instead of doing it all by herself.

She might have grown up into a not-so-little-girl, and we might have ‘successfully’ guided her through her milestones as a toddler, but some things remains the same – she still needs to be loved and care for, and sometimes still treated as if she were the only daughter, the number one priority. Bukan selalu jadi yang kedua, yang harus selalu ‘mengalah’, in terms of menghabiskan waktu sama Bubu dan Ayah.

Itu yang saya simpulkan setelah ngobrol panjang lebar sama Ibu wali kelas.

She needs me, her once-caring-and-loving-mother, Bubu yang juga nemenin, ngajak ngobrol, main dan bercanda seru kayak dulu sebelum ada adik bayi, bukan Bubu yang bisanya cuma teriak dan marah.

😥

Saya sadar, selama ini kurang memberikan Alma ‘ruang’ untuk berkembang dan membuatnya jadi lebih percaya diri dan mandiri. Tetiba setelah adiknya lahir, I put too much expectation of her being so independent as if she doesn’t need my help anymore.

MY BAD.

😦

Tapi gimanapun, yang sudah lewat nggak bisa diulang. Sekarang sih, tinggal ke depannya menyikapi dengan lebih baik lagi. As soon as selesai ngobrol sama gurunya Alma, saya berusaha menjadi Bubu yang bukan-cuma-bisa-teriak dan-marah aja. Well I am trying hard here. Like really hard 😦

It is completely natural for your child to be jealous of a new baby. In fact, I doubt there is a child in the world who has not been jealous when a new sibling arrives. Your goal is to help your child manage that jealousy so love has a chance to grow, and to win out.

Quote yang bener banget dari tulisan ini: Helping your older child adjust to the new baby.

Selain harus spend a quality and positive time setiap harinya sama Kaka, jangan terus-terusan bilang, “Nanti ya Ka, setelah adek bobo baru Bubu temenin main”… coba cari alasan lain katanya, jangan melulu soal adiknya.  Aaah… PR saya memang masih banyak… 😐

Inti tulisan ini sih.. nggak lain mau ngingetin diri sendiri supaya terus belajar jadi orangtua yang lebih baik lagi. Berapapun jarak usia anak pertama dengan adiknya, bukan berarti nggak ada tantangan atau cobaannya 😀 hehe..

SEMANGATTT 😀

 

2 thoughts on “Tentang Punya Adik Baru

Leave a comment